Category Archives: Perpajakan

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2009 – UU 36/2008

PTKP yang mulai berlaku tahun 2009 untuk perhitungan pajak penghasilan Wajib Pajak pribadi. 

  • Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
  • Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
  • Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
  • Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3
    (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Pokok-pokok pikiran PPh yang baru disahkan oleh DPR, Selasa (2/9/2008)

Berikut pokok-pokok pikiran dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang baru disahkan oleh DPR, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/9/2008) : 

Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)
Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, Continue reading Pokok-pokok pikiran PPh yang baru disahkan oleh DPR, Selasa (2/9/2008)

RUU PPh Disahkan Jadi UU

Rabu, 3 September 2008 | 07:23 WIB JAKARTA, RABU – Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan atau RUU PPh secara resmi disahkan menjadi UU. Dengan demikian, perhitungan PPh, baik bagi wajib pajak badan maupun orang pribadi, akan mengacu pada UU tersebut yang berlaku mulai 1 Januari 2009. Continue reading RUU PPh Disahkan Jadi UU

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (5)

E. UTANG PAJAK

1. Apa pengertian Utang Pajak ?
Utang Pajak adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Apa yang dimaksud  dengan Surat Teguran ?
Surat Teguran adalah surat peringatan kepada Wajib Pajak agar segera melunasi utang pajak. Surat Teguran dikirimkan kepada Wajib Pajak apabila Wajib Pajak tidak melunasai utang pajak 7 hari setelah jatuh tempo.

3. Apa yang dimaksud dengan Surat Paksa ?
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan.
Surat Paksa diterbitkan apabila Wajib Pajak belum melunasi utang pajak setelah 21 hari sejak tanggal surat Tegoran. Bersamaan dengan penyampaian Surat Paksa tersebut Wajib Pajak dibebani biaya penagihan paksa sebesar Rp. 25.000,-
Wajib Pajak wajib melunasi utang pajak dalam waktu 2 x 24 jam

4. Apa kewajiban WajibPajak berkaitan dengan pelaksanaan sita
Kewajiban Wajib Pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan sita 

   membantu Juru Sita dalam melaksanakan tugasnya

   memperbolehkan Juru SIta untuk memasuki ruangan,tempat usaha/tempat tinggal Wajib Pajak

   memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan

   barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan.

5. Apa yang dimaksud dengan lelang ?
Tindakan lelang dilakukan apabila Wajib Pajak dalam jangka waktu 14 hari setelah tindakan penyitaan dilakukan Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak. Tindakan Lelang dilakukan melalui Kantor Lelang Negara.

Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumumam lelang di surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.

6. Apa saja hak-hak Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pelunasan utang pajak ?
Hak-hak  Wajib Pajak yang berkaitan dengan pelunasan utang pajak:
    meminta juru sita memperlihatkan tanda pengenal Juru Sita Pajak Negara

    menerima Salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan

    menentukan urutan barang yang akan dilelang

    sebelum Pelaksanaan lelang, mendapat kesempatan terakhir untuk melunasi utang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada Kepala KPP yang bersangkutan.

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (4)

D. PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK

1. Apa pengertian Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa denda, dan atau bunga.

2. Apa fungsi Surat Tagihan Pajak ?
Fungsi Surat Tagihan Pajak:
a. sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak;
b. sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga dan atau denda;
c. sarana untuk menagih pajak.

3. Dalam hal apa Surat Tagihan Pajak diterbitkan ?
Sebab diterbitkannya STP:
a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. berdasarkan penelitian SPT terdapat kekurangan pembayaran akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. Pengusaha yang dikenakan pajak tidak melapor untuk dikukuhkan sebagai PKP;
e. Pengusaha yang tidak/bukan PKP membuat Faktur Pajak.
f. PKP tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi faktur pajak dengan lengkap.

4. Sanksi administrasi apa saja yang dapat ditagih dengan STP ?
Jenis administrasi yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak:
a. denda administrasi Rp. 50.000,00 bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa;
b. denda administrasi Rp. 100.000,00 bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan;
c. denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak bagi Pengusaha yang tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, PKP yang tidak membuat atau tidak lengkap mengisi Faktur Pajak;
d. bunga, bagi Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan sehingga  mengakibatkan kurarng bayar;
e. bunga, bagi Wajib Pajak yang terlambat atau tidak membayar pajak yang sudah jatuh tempo pembayarannya 

5. Apakah yang dimaksud dengan Surat Ketetapan Pajak ?
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.

6. Apa yang dimaksud Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ?
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, kredit pajak, kekurangan pembayaran pokok pajak, sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.

7. Dalam hal apa SKPKB diterbitkan ?
SKPKB diterbitkan dalam jangka jangka 10 tahun apabila:
– berdasarkan pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar
– SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Teguran

8. Apa yang dimaksud dengan SKPKBT ?
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat Keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
a. SKPKBT diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutang pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak,
b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
c. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat Keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau tidak terutang pajak dan tidak ada kredit pajak.

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (3)

C. SPT Tahunan PPh

1. Apakah pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) ?
Pengertian dari Surat Pemberitahuan (SPT):
Surat Pemberitahuan adalah
surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Apa fungsi SPT ?
Sebagai sarana bagi Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak terutang yang sebenarnya termasuk perhitungan atas :

        Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak;

        Penghasilan yang merupakan obyek pajak dan atau bukan obyek pajak;

        Harta dan kewajiban;
 

3. Dimanakah Wajib Pajak dapat memperoleh SPT ?

Setiap WP bisa mengambil sendiri SPT di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau KP4.

4. Bagaimana cara pengisian SPT dan siapa yang berwenang menandatangani ?
SPT harus diisi secara benar, jelas, lengkap, dan harus ditandatangani oleh Wajib pajak. Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan WP, harus dilampiri
surat kuasa khusus.

5. Kapankah batas waktu Pelunasan setoran akhir (PPh Pasal  29) ?
Kekurangan pajak yang terutang atas PPh Pasal 29 harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke tiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan disampa
ikan.

6. Bagaimana prosedur penyampaian SPT ?
SPT disampa
ikan secara langsung atau melalui Pos secara tercatat ke KPP/Kapenpa setempat.

7. Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian  SPT ?
Syarat-syarat permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan:

a.       Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir;

b.       Memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara;

c.       Telah melunasi kekurangan penyetoran pajak yang terutang.

8. Sanksi apa yang dikenakan pada Wajib Pajak yang tidak/terlambat menyampaikan SPT ?
SPT yang tidak disampa
ikan atau disampaikan tidak sesuai dengan  batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa  denda

9. Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak untuk dapat membetulkan sendiri SPT Tahunan ?
Syarat bagi Wajib Pajak untuk dapat membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh adalah Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan atas kemauan sendiri:

a. Sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak:

  menyampaikan pernyataansecara tertulis;

  melunasi pajak yang kurang dibayar;

  ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT;

 

b.Sesudah dilakukan tindakan pemeriksaan:
sepanjang belum dilakukan tindakan. penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak;

  mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut;

  melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang;

  ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar;
 

c.Sesudah jangka waktu pembetulan SPT berakhir:

  belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak;

  mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan, yang mengakibatkan:

o  pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau

o  rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau jumlah harta menjadi lebih besar; atau jumlah modal menjadi lebih besar;

  melunasi kekurangan pajak yang kurang dibayar;

  ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar.

 

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (2)

B. Kewajiban Setelah Memperoleh NPWP

1.      Apa saja kewajiban Wajib Pajak setelah memperoleh NPWP/ NPPKP ?
Kewajiban yang harus dilaksanakan setelah memperoleh NPWP oleh Wajib Pajak:

a.      Kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh);

b.      Kewajiban sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPnBM);

c.       Pembukuan/Pencatatan.

2.      Apa saja kewajiban Wajib Pajak Sehubungan dengan Pajak Penghasilan ?
Kewajiban Wajib Pajak sehubungan dengan Pajak Penghasilan:

a.      SPT Masa;

b.      SPT Tahunan (Badan/Orang Pribadi/Pasal 21);

c.       Pelunasan utang pajak yang tercantum dalam “surat ketetapan  Pajak dan surat  keputusan lainnya.

3.      Kapankah batas waktu pembayaran dan pelaporan PPh ?
Batas waktu pembayaran :

a.      PPh Pasal 25 selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya;

b.      PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya;

c.       PPh Pasal 22:

       Impor harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk;

       Yang pemungutannya dilakukan oleh Bea Cukai disetor dalam jangka waktu satu hari;

       Bendaharawan disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran;

       Penyerahan dari Pertamina, Bulog harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum Delivery Order ditebus;

       Penyerahan yang dilakukukan selain Pertamina dan Bulog harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya;

Batas waktu untuk pelaporannya, setelab melakukan pembayaran / penyetoran:
Apabila Anda sudah membayar angsuran PPh, Anda harus melaporkan pembayaran itu ke KPP sebagai berikut:

a.      PPh Pasal 25 selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya;

b.      PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya;

c.       PPh Pasal 22:

1.      Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selambat-lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran berakhir.

2.      Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/ BUMD, selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir.

3.      Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif yang ditunjuk oleh Kepala KPP atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri, selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.

4.      Pertamina dan badan usaha lain selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas dan atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.

4.      Apa saja yang menjadi dasar penagihan pajak?
Macam-macam surat ketetapan yang berkenaan dengan utang pajak yang harus dilunasi:
Utang pajak yang tercantum dalam:

a.      Surat Tagihan Pajak (STP);

b.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

c.       Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

d.      Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan SuratPutusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

5.      Apakah kewajiban Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ?
Kewajiban Wajib Pajak sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN/PPnBM):
a. Melakukan pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM yang telah dipungut;
b. Membuat faktur Pajak;
c. Mengisi SPT masa PPN dan melaporkan ke KPP.

6.      Siapakah yang wajib melakukan pembukuan ?
Yang wajib melakukan pembukuan/pencatatan:
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia, harus mengadakan Pembukuan/Pencatatan menurut ketentuan yang berlaku.

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (1)

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN

A. Kewajiban Memiliki NPWP/NPPKP ( 250304 )

1.  Apakah yang dimaksud dengan Wajib Pajak ?
WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang¬-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

2. Apa yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ?
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Continue reading KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (1)

Pasti & Sederhana, Tapi Bikin Mules Perut

Kontan, Minggu IV, April 2007, 23-April-2007

PASTI DAN SEDERHANA, TAPI BIKIN MULES PERUT

Perusahaan jasa keberatan dengan aturan baru Ditjen Pajak soal pemungutan PPh

Reaksi mulai bermunculan terkait keluarnya Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang mengulas PPh Pasal 23. Banyak perusahaan yang terbebani meminta peninjauan ulang atas aturan itu.Beberapa hari terakhir ini, kalau mau mengukur, boleh jadi tensi Henny Lestari berada di atas rentang normal. Walau masih sering terlihat tertawa renyah, dia sedang memendam persoalan. Sebagai direktur utama sebuah perusahaan jasa, dia tengah bingung cara menerapkan aturan pajak teranyar tentang pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 kepada kliennya.

Banyak jenis jasa yang tercantum dalam aturan ini yang menyenggol bidang kerjanya sebagai konsultan public relations (PR) dan marketing communication. Mau enggak, ya, klien menyesuaikan pembiayaan sesuai peraturan ini? katanya, masygul. Pertanyaan itu akhirnya dia jawab sendiri. Pasti mereka enggan. Tanpa aturan ini saja kami sudah setengah mati cari klien. Sekarang tambah berat banget, keluhnya kepada KONTAN.

Keluhan Henny ini bukan lantaran dia tak paham kebutuhan negara atas penerimaan pajak. Dia mengaku mengerti, dan selama ini mencoba tertib dalam hal perpajakan alias menjadi pengusaha yang sehat. Cuma, dia melihat peraturan model begini bakal memancing orang untuk bertindak tidak jujur. Bisa saja, perusahaan tidak membuat nota invoice dan sekedar membuat kuitansi. Karena kalau gue tertib, gue mati, katanya.

Dia menyayangkan polah regulator yang sekedar membuat peraturan tanpa turun ke lapangan. Mereka seharusnya memahami bidang kerja jasa-jasa seperti ini. Kalau tahu-tahu muncul peraturan begini, Henny mengaku kerepotan dan protes berat. Bikin gue sakit perut, katanya.

Ini, lo, aturan yang bikin sakit perut

Hulu protes Henny ini berasal dari Peraturan Ditjen Nomor 70/PJ/2007. Intinya, peraturan yang diteken 9 April silam ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan penyederhanaan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 sehubungan dengan sewa dan penghasilan lain. Kata kepastian hukum dan penyederhanaan memang menyejukkan. Tapi, tahukah Anda apa makna keduanya dalam konteks ini?

Begini. Lazimnya, perusahaan membayar PPh setelah mengetahui laba bersih yang mereka peroleh. Nah, lewat peraturan baru ini, kantor pajak hendak memastikan pemotongan PPh lansung dari nilai omzet, dan dibayarkan di depan. Lo, kok, bisa begitu? Di sinilah letak kesederhanaannya. Ketimbang repot-repot mengurangi omzet dengan aneka biaya untuk mendapatkan laba bersih, Ditjen Pajak sudah mematok perkiraan angka laba sejak awal dan menghitung pajaknya.

Mereka menetapkan besarnya PPh sebesar 15% dari perkiraan penghasilan bersih perusahaan-perusahaan jasa yang terikat ketentuan ini. Nah, Ditjen Pajak telah menentukan perkiraan laba bersih dari masing-masing bidang usaha. Misalnya, mereka menaksir laba bersih jasa penyediaan ruang atau waktu untuk iklan di media massa adalah 10% dari nilai omzet, tak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Itu berarti nilai PPh Pasal 23 yang dibayarkan adalah sebesar 15% dari 10%, yaitu 1,5% dari nominal transaksi, kata Pandoyo, staf Ditjen Pajak II, yang ditemui KONTAN di kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta.

Bukan hanya perusahaan PR dan media massa yang terkena dampak. Perusahaan agensi iklan pun terkena imbasnya. Menurut Direktur Keuangan PT Citra Media Komunikasi Nur Khotim, selama ini perusahaan agensi iklan telah membayar PPN, PPh 21, PPh 26, PPh 25, dan PPh 29. Kini, mereka harus menambah setoran pajak dalam bentuk PPh 23. Kalau dikumpulkan bisa jadi ada 480 pungutan pajak. Ini tidak praktis karena menimbulkan banyak celah yang mengakibatkan banyaknya penyelewengan, katanya.

Apalagi, munculnya peraturan PPh 23 ini membuat biro iklan ketiban sampur sebagai pengumpul pajak. Tugas kita menghitung, memotong, melapor, dan menyetor pajak. Dengan aturan baru ini kerja kami semakin ribet, terutama menyangkut sistem akuntansinya, katanya.

Ancaman ruwetnya urusan administrasi juga dirasakan Ferti Wiratih, Direktur Keuangan PT Hakuhodo Indonesia, perusahaan agensi iklan yang lain. Ferti mengaku direpotkan dengan klausul penyertaan bukti pemotongan pajak untuk media. Jumlahnya banyak sekali karena tiap transaksi harus disertai bukti pemotongan. Frekuensi pekerjaan kita bakal bertambah, katanya.

Ferti mengaku tak punya pilihan lain kecuali memotong nilai transaksi iklan sebesar 1,5% ke media. Namun, dia sudah menduga bakal muncul efek bumerang. Bisa jadi media akan melakukan penyesuaian. Mungkin pengaruhnya terasa pada volume iklan. Dengan jumlah uang sama, tadinya iklan kami bisa naik cetak lima kali. Ke depan hanya empat kali, katanya. Ujung-ujungnya, klien akan memotong fee agensi untuk perusahaan biro iklan.

Kalangan media pun setali tiga uang. Menurut Asmono Wikan, Direktur Eksekutif Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pengenaan PPh sebesar 1,5% terhadap iklan memang turun dari tarif sebelumnya sebesar 3%, yang tertuang dalam peraturan Ditjen Pajak Nomer 178/PJ/2006. Memang diringankan, tapi kita inginnya dihapus dari peraturan tersebut, katanya.

Menurutnya, selama ini pungutan pajak sudah menempel pada saat pembelian kertas, proses cetak, dan penjualan. Kok, sekarang ditambahi PPh untuk iklan? katanya. Asmono juga tak habis pikir asal penentuan perkiraan penghasilan neto untuk jasa iklan media massa. Angka itu tidak jelas karena tidak ketahuan asal asumsinya. Kita ini bicara untung, bukan pendapatan. Penentuan itu tak berdasar, katanya.

Karena itu SPS sudah mengirim surat ke Ditjen Pajak agar menghapus PPh jasa lain ini. Surat ini langsung ditembuskan kepada Menteri Keuangan. Kami menghimbau anggota SPS agar jangan membayar biaya pajak sebelum SPS mendapat jawaban dari Ditjen Pajak, katanya.

Menaggapi berbagai respon ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Djoko Slamet Suryo Putro, berjanji Ditjen Pajak akan segera memberi penjelasan yang lebih detail.

Agaknya, tensi para pebisnis jasa belum boleh normal.

Andai Saja Cuma April Mop

Andai saja Peraturan Ditjen Pajak Nomer 70/PJ/2007 sekedar guyonan bulan April (April mop), tentu bisa dinobatkan sebagai lelucon paling mengejutkan seluruh dunia.

Sayang sekali, aturan baru itu benar-benar serius. Begitu banyak bidang bisnis yang terimbas aturan ini. Mari kita sebut mereka satu per satu.

Pemungutan PPh Pasal 23 menimpa bisnis jasa manajemen, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa penyediaan tenaga kerja, serta jasa penyediaan tempat maupun waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk penyampaian informasi.

Itu baru sebagian. Masih ada 28 jenis jasa lain yang terkena PPh Pasal 23 ini. Jasa-jasa tersebut meliput sewa dan penghasilan angkutan darat, jasa teknik, jasa manajemen, jasa penunjang pertambangan minyak dan gas, dan jasa penambangan migas. Selain itu, pajak juga mengiris penghasilan dari jasa penunjang bidang penerbangan dan Bandar udara, jasa maklon, jasa penilai, jasa akuntansi, jasa perancang, dan jasa perantara.

Ditjen Pajak juga telah menetapkan besaran perkiraan penghasilan bersih dari tiap jasa tersebut. Seperti dikutip dari lampiran peraturan peraturan ini angka perkiraannya berkisar 10%-30%. Itulah yang akan digunakan sebagai patokan pungutan. Angka patokan ini yang mengundang tanya pebisnis.

Arief Ardiansyah, Suhendra, Agustina Triyudhi

Awas, Data SPT Bisa Bocor !!!

Kontan, Minggu IV, April 2007, 23-April-2007

AWAS, DATA SPT BISA BOCOR

Ditjen Pajak gunakan pihak luar untuk menginput data SPT

Direktorat Jenderal Pajak merekrut tenaga luar untuk menginput data SPT. Ada kekhawatiran data-data rahasia wajib pajak bakal bocor kepada pihak-pihak yang tak berhak. Kantor Pajak menjamin tak ada kebocoran.

Kalau mau berterus terang, mungkin begini kira-kira pengumuman Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan kepada Anda, terkait dengan penanganan data Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak periode 2006 dan tahun tahun sebelumnya:

Bapak dan Ibu yang terhormat, mohon maaf data-data Anda yang masuk pada Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tahun 2006 dan sebelumnya akan kami beberkan kepada pihak luar. Kami tidak mampu menginputnya ke database karena kekurangan tenaga. Daripada terus menumpuk di kantor, mending kami serahkan pekerjaan itu kepada pihak luar. Mohon permaklumannya.

Deg! Jantung Anda mungkin agak melambat berdegup, atau bahkan berhenti sejenak. Terbayang deretan angka omzet dan penghasilan Anda selama bertahun-tahun, komplet dengan nama rekanan dan nilai transaksi, bakal dibaca pihak lain di luar aparat pajak.

Memang, kenyataan pahit itu ini terpaksa dihadap para wajib pajak setelah beredar Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak No 11/PJ./2007 tertanggal 16 Maret 2007. Sebenarnya, tak ada yang aneh dalam materi surat edaran tersebut. Hanya saja, beberapa poin surat mencantumkan ketentuan bahwa perekaman SPT Masa Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya, serta penginputan data SPT Tahunan Pajak 2005 dan sebelumnya, banyak yang belum selesai dimasukkan pada database. Nah, biar kelambatan itu cepat selesai, Ditjen Pajak menginstruksikan perekaman data dilakukan pihak luar (outsourcing). Perekaman oleh pihak luar harus selesai paling lambat pada 30 Juni 2007, begitu bunyi poin tujuh SE tersebut.

Menumpuk karena sibuk dan kurang tenaga

Sontak surat edaran yang bocor kepada beberapa pengamat mengundang kontroversi. Soalnya, kerahasiaan data wajib pajak dilindungi oleh pasal 34 UU Ketentuan Umum Perpajakan. Menyerahkan kegiatan input data kepada pihak ketiga dikhawatirkan bakal melanggar aturan kerahasiaan tersebut. Apa saja, sih, kerjaan pegawai pajak sehingga keteteran? keluh seorang pengamat pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Djoko Slamet Suryo Putra, mencoba menepis kerisauan itu. Jangan khawatir, kerahasiaan data wajib pajak tetap terjamin, kata Djoko. Lampiran SE itu ternyata menggariskan bahwa pihak luar yang melakukan perekaman kudu memperhatikan pasal 34 UU KUP. Dengan kata lain, mereka wajib merahasiakan data wajib pajak yang mereka input.

Sebelum bekerja, mereka juga harus menandatangani surat pernyataan kerahasiaan itu. Mereka tak boleh memindahkan, menyalin, atau mengkopi data SPT ke dalam media penyimpanan apapun.

Gampangnya, menurut Djoko, pihak yang melakukan input data tadi dibuatkan tempat khusus dan bertugas hanya melakukan input data. Bisa saja nama wajib pajak kita sembunyikan atau kita samarkan dengan kode, mereka tinggal masukkan angka. Setelah disetor ke kita, baru diubah kembali kode itu. Pihak luar tak tahu angka SPT siapa yang mereka masukkan, katanya.

Penjelasan itu ternyata tak jua bisa memuaskan pihak-pihak yang ketakutan data mereka bakal bocor ke luar. Bagaimanapun, adanya tangan lain di luar aparat pajak yang menjamah data wajib pajak ini membuat kerahasiaannya ternoda. Itu melanggar pasal 34 UU KUP. Orang pajak cuma mau gampangnya saja! kata sang sumber sebal.

Djoko berdalih tujuan penerbitan SE tersebut semata-mata agar fungsi pengawasan yang dilakukan Ditjen Pajak bisa lebih baik. Maksudnya, penggunaan tenaga luar mereka anggap mendesak agar kantor pajak bisa segera memperbaiki database. Nanti-nanti, penggunaan tenaga luar tak perlu lagi karena model pelaporan manual yang membutuhkan perekaman ulang bakal hilang. Kita akan ajak semua wajib pajak untuk mengisi SPT dan yang lainnya melalui e-SPT dan e-Filling, katanya kepada KONTAN.

Terkait perekaman SPT yang menunggak, Djoko menduga itu terjadi saking banyaknya data yang menumpuk. Sangat mungkin KPP sedang banyak aktivitas sehingga kurang fokus melakukan perekaman data. Banyak kerja dan tenaga kurang sehingga masih ada perekaman SPT yang belum selesai, katanya.

Wah, siapa saja pihak ketiganya, kalau nakal dapat dua keuntungan: duit dan data rahasia.

Arief Ardiansyah.