All posts by Admin

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (3)

C. SPT Tahunan PPh

1. Apakah pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) ?
Pengertian dari Surat Pemberitahuan (SPT):
Surat Pemberitahuan adalah
surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Apa fungsi SPT ?
Sebagai sarana bagi Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak terutang yang sebenarnya termasuk perhitungan atas :

        Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak;

        Penghasilan yang merupakan obyek pajak dan atau bukan obyek pajak;

        Harta dan kewajiban;
 

3. Dimanakah Wajib Pajak dapat memperoleh SPT ?

Setiap WP bisa mengambil sendiri SPT di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau KP4.

4. Bagaimana cara pengisian SPT dan siapa yang berwenang menandatangani ?
SPT harus diisi secara benar, jelas, lengkap, dan harus ditandatangani oleh Wajib pajak. Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan WP, harus dilampiri
surat kuasa khusus.

5. Kapankah batas waktu Pelunasan setoran akhir (PPh Pasal  29) ?
Kekurangan pajak yang terutang atas PPh Pasal 29 harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ke tiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan disampa
ikan.

6. Bagaimana prosedur penyampaian SPT ?
SPT disampa
ikan secara langsung atau melalui Pos secara tercatat ke KPP/Kapenpa setempat.

7. Apa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak untuk mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian  SPT ?
Syarat-syarat permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan:

a.       Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir;

b.       Memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara;

c.       Telah melunasi kekurangan penyetoran pajak yang terutang.

8. Sanksi apa yang dikenakan pada Wajib Pajak yang tidak/terlambat menyampaikan SPT ?
SPT yang tidak disampa
ikan atau disampaikan tidak sesuai dengan  batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa  denda

9. Persyaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak untuk dapat membetulkan sendiri SPT Tahunan ?
Syarat bagi Wajib Pajak untuk dapat membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh adalah Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan atas kemauan sendiri:

a. Sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak:

  menyampaikan pernyataansecara tertulis;

  melunasi pajak yang kurang dibayar;

  ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT;

 

b.Sesudah dilakukan tindakan pemeriksaan:
sepanjang belum dilakukan tindakan. penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak;

  mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut;

  melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang;

  ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar;
 

c.Sesudah jangka waktu pembetulan SPT berakhir:

  belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak;

  mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan, yang mengakibatkan:

o  pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar; atau

o  rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil; atau jumlah harta menjadi lebih besar; atau jumlah modal menjadi lebih besar;

  melunasi kekurangan pajak yang kurang dibayar;

  ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar.

 

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (2)

B. Kewajiban Setelah Memperoleh NPWP

1.      Apa saja kewajiban Wajib Pajak setelah memperoleh NPWP/ NPPKP ?
Kewajiban yang harus dilaksanakan setelah memperoleh NPWP oleh Wajib Pajak:

a.      Kewajiban sehubungan dengan Pajak Penghasilan (PPh);

b.      Kewajiban sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPnBM);

c.       Pembukuan/Pencatatan.

2.      Apa saja kewajiban Wajib Pajak Sehubungan dengan Pajak Penghasilan ?
Kewajiban Wajib Pajak sehubungan dengan Pajak Penghasilan:

a.      SPT Masa;

b.      SPT Tahunan (Badan/Orang Pribadi/Pasal 21);

c.       Pelunasan utang pajak yang tercantum dalam “surat ketetapan  Pajak dan surat  keputusan lainnya.

3.      Kapankah batas waktu pembayaran dan pelaporan PPh ?
Batas waktu pembayaran :

a.      PPh Pasal 25 selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya;

b.      PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya;

c.       PPh Pasal 22:

       Impor harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak bersamaan dengan pembayaran Bea Masuk;

       Yang pemungutannya dilakukan oleh Bea Cukai disetor dalam jangka waktu satu hari;

       Bendaharawan disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran;

       Penyerahan dari Pertamina, Bulog harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum Delivery Order ditebus;

       Penyerahan yang dilakukukan selain Pertamina dan Bulog harus disetor paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya;

Batas waktu untuk pelaporannya, setelab melakukan pembayaran / penyetoran:
Apabila Anda sudah membayar angsuran PPh, Anda harus melaporkan pembayaran itu ke KPP sebagai berikut:

a.      PPh Pasal 25 selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya;

b.      PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya;

c.       PPh Pasal 22:

1.      Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selambat-lambatnya tujuh hari setelah batas waktu penyetoran berakhir.

2.      Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/ BUMD, selambat-lambatnya 14 hari setelah masa pajak berakhir.

3.      Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, rokok, kertas, baja, dan otomotif yang ditunjuk oleh Kepala KPP atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri, selambat-lambatnya 20 hari setelah masa pajak berakhir.

4.      Pertamina dan badan usaha lain selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas dan atas penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya.

4.      Apa saja yang menjadi dasar penagihan pajak?
Macam-macam surat ketetapan yang berkenaan dengan utang pajak yang harus dilunasi:
Utang pajak yang tercantum dalam:

a.      Surat Tagihan Pajak (STP);

b.      Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

c.       Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

d.      Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan SuratPutusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

5.      Apakah kewajiban Wajib Pajak yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ?
Kewajiban Wajib Pajak sehubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN/PPnBM):
a. Melakukan pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM yang telah dipungut;
b. Membuat faktur Pajak;
c. Mengisi SPT masa PPN dan melaporkan ke KPP.

6.      Siapakah yang wajib melakukan pembukuan ?
Yang wajib melakukan pembukuan/pencatatan:
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia, harus mengadakan Pembukuan/Pencatatan menurut ketentuan yang berlaku.

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (1)

KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN

A. Kewajiban Memiliki NPWP/NPPKP ( 250304 )

1.  Apakah yang dimaksud dengan Wajib Pajak ?
WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang¬-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.

2. Apa yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ?
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Continue reading KETENTUAN UMUM DAN TATACARA PERPAJAKAN (1)

Pasti & Sederhana, Tapi Bikin Mules Perut

Kontan, Minggu IV, April 2007, 23-April-2007

PASTI DAN SEDERHANA, TAPI BIKIN MULES PERUT

Perusahaan jasa keberatan dengan aturan baru Ditjen Pajak soal pemungutan PPh

Reaksi mulai bermunculan terkait keluarnya Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang mengulas PPh Pasal 23. Banyak perusahaan yang terbebani meminta peninjauan ulang atas aturan itu.Beberapa hari terakhir ini, kalau mau mengukur, boleh jadi tensi Henny Lestari berada di atas rentang normal. Walau masih sering terlihat tertawa renyah, dia sedang memendam persoalan. Sebagai direktur utama sebuah perusahaan jasa, dia tengah bingung cara menerapkan aturan pajak teranyar tentang pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 kepada kliennya.

Banyak jenis jasa yang tercantum dalam aturan ini yang menyenggol bidang kerjanya sebagai konsultan public relations (PR) dan marketing communication. Mau enggak, ya, klien menyesuaikan pembiayaan sesuai peraturan ini? katanya, masygul. Pertanyaan itu akhirnya dia jawab sendiri. Pasti mereka enggan. Tanpa aturan ini saja kami sudah setengah mati cari klien. Sekarang tambah berat banget, keluhnya kepada KONTAN.

Keluhan Henny ini bukan lantaran dia tak paham kebutuhan negara atas penerimaan pajak. Dia mengaku mengerti, dan selama ini mencoba tertib dalam hal perpajakan alias menjadi pengusaha yang sehat. Cuma, dia melihat peraturan model begini bakal memancing orang untuk bertindak tidak jujur. Bisa saja, perusahaan tidak membuat nota invoice dan sekedar membuat kuitansi. Karena kalau gue tertib, gue mati, katanya.

Dia menyayangkan polah regulator yang sekedar membuat peraturan tanpa turun ke lapangan. Mereka seharusnya memahami bidang kerja jasa-jasa seperti ini. Kalau tahu-tahu muncul peraturan begini, Henny mengaku kerepotan dan protes berat. Bikin gue sakit perut, katanya.

Ini, lo, aturan yang bikin sakit perut

Hulu protes Henny ini berasal dari Peraturan Ditjen Nomor 70/PJ/2007. Intinya, peraturan yang diteken 9 April silam ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan penyederhanaan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 sehubungan dengan sewa dan penghasilan lain. Kata kepastian hukum dan penyederhanaan memang menyejukkan. Tapi, tahukah Anda apa makna keduanya dalam konteks ini?

Begini. Lazimnya, perusahaan membayar PPh setelah mengetahui laba bersih yang mereka peroleh. Nah, lewat peraturan baru ini, kantor pajak hendak memastikan pemotongan PPh lansung dari nilai omzet, dan dibayarkan di depan. Lo, kok, bisa begitu? Di sinilah letak kesederhanaannya. Ketimbang repot-repot mengurangi omzet dengan aneka biaya untuk mendapatkan laba bersih, Ditjen Pajak sudah mematok perkiraan angka laba sejak awal dan menghitung pajaknya.

Mereka menetapkan besarnya PPh sebesar 15% dari perkiraan penghasilan bersih perusahaan-perusahaan jasa yang terikat ketentuan ini. Nah, Ditjen Pajak telah menentukan perkiraan laba bersih dari masing-masing bidang usaha. Misalnya, mereka menaksir laba bersih jasa penyediaan ruang atau waktu untuk iklan di media massa adalah 10% dari nilai omzet, tak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Itu berarti nilai PPh Pasal 23 yang dibayarkan adalah sebesar 15% dari 10%, yaitu 1,5% dari nominal transaksi, kata Pandoyo, staf Ditjen Pajak II, yang ditemui KONTAN di kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta.

Bukan hanya perusahaan PR dan media massa yang terkena dampak. Perusahaan agensi iklan pun terkena imbasnya. Menurut Direktur Keuangan PT Citra Media Komunikasi Nur Khotim, selama ini perusahaan agensi iklan telah membayar PPN, PPh 21, PPh 26, PPh 25, dan PPh 29. Kini, mereka harus menambah setoran pajak dalam bentuk PPh 23. Kalau dikumpulkan bisa jadi ada 480 pungutan pajak. Ini tidak praktis karena menimbulkan banyak celah yang mengakibatkan banyaknya penyelewengan, katanya.

Apalagi, munculnya peraturan PPh 23 ini membuat biro iklan ketiban sampur sebagai pengumpul pajak. Tugas kita menghitung, memotong, melapor, dan menyetor pajak. Dengan aturan baru ini kerja kami semakin ribet, terutama menyangkut sistem akuntansinya, katanya.

Ancaman ruwetnya urusan administrasi juga dirasakan Ferti Wiratih, Direktur Keuangan PT Hakuhodo Indonesia, perusahaan agensi iklan yang lain. Ferti mengaku direpotkan dengan klausul penyertaan bukti pemotongan pajak untuk media. Jumlahnya banyak sekali karena tiap transaksi harus disertai bukti pemotongan. Frekuensi pekerjaan kita bakal bertambah, katanya.

Ferti mengaku tak punya pilihan lain kecuali memotong nilai transaksi iklan sebesar 1,5% ke media. Namun, dia sudah menduga bakal muncul efek bumerang. Bisa jadi media akan melakukan penyesuaian. Mungkin pengaruhnya terasa pada volume iklan. Dengan jumlah uang sama, tadinya iklan kami bisa naik cetak lima kali. Ke depan hanya empat kali, katanya. Ujung-ujungnya, klien akan memotong fee agensi untuk perusahaan biro iklan.

Kalangan media pun setali tiga uang. Menurut Asmono Wikan, Direktur Eksekutif Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pengenaan PPh sebesar 1,5% terhadap iklan memang turun dari tarif sebelumnya sebesar 3%, yang tertuang dalam peraturan Ditjen Pajak Nomer 178/PJ/2006. Memang diringankan, tapi kita inginnya dihapus dari peraturan tersebut, katanya.

Menurutnya, selama ini pungutan pajak sudah menempel pada saat pembelian kertas, proses cetak, dan penjualan. Kok, sekarang ditambahi PPh untuk iklan? katanya. Asmono juga tak habis pikir asal penentuan perkiraan penghasilan neto untuk jasa iklan media massa. Angka itu tidak jelas karena tidak ketahuan asal asumsinya. Kita ini bicara untung, bukan pendapatan. Penentuan itu tak berdasar, katanya.

Karena itu SPS sudah mengirim surat ke Ditjen Pajak agar menghapus PPh jasa lain ini. Surat ini langsung ditembuskan kepada Menteri Keuangan. Kami menghimbau anggota SPS agar jangan membayar biaya pajak sebelum SPS mendapat jawaban dari Ditjen Pajak, katanya.

Menaggapi berbagai respon ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Djoko Slamet Suryo Putro, berjanji Ditjen Pajak akan segera memberi penjelasan yang lebih detail.

Agaknya, tensi para pebisnis jasa belum boleh normal.

Andai Saja Cuma April Mop

Andai saja Peraturan Ditjen Pajak Nomer 70/PJ/2007 sekedar guyonan bulan April (April mop), tentu bisa dinobatkan sebagai lelucon paling mengejutkan seluruh dunia.

Sayang sekali, aturan baru itu benar-benar serius. Begitu banyak bidang bisnis yang terimbas aturan ini. Mari kita sebut mereka satu per satu.

Pemungutan PPh Pasal 23 menimpa bisnis jasa manajemen, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa penyediaan tenaga kerja, serta jasa penyediaan tempat maupun waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk penyampaian informasi.

Itu baru sebagian. Masih ada 28 jenis jasa lain yang terkena PPh Pasal 23 ini. Jasa-jasa tersebut meliput sewa dan penghasilan angkutan darat, jasa teknik, jasa manajemen, jasa penunjang pertambangan minyak dan gas, dan jasa penambangan migas. Selain itu, pajak juga mengiris penghasilan dari jasa penunjang bidang penerbangan dan Bandar udara, jasa maklon, jasa penilai, jasa akuntansi, jasa perancang, dan jasa perantara.

Ditjen Pajak juga telah menetapkan besaran perkiraan penghasilan bersih dari tiap jasa tersebut. Seperti dikutip dari lampiran peraturan peraturan ini angka perkiraannya berkisar 10%-30%. Itulah yang akan digunakan sebagai patokan pungutan. Angka patokan ini yang mengundang tanya pebisnis.

Arief Ardiansyah, Suhendra, Agustina Triyudhi

Awas, Data SPT Bisa Bocor !!!

Kontan, Minggu IV, April 2007, 23-April-2007

AWAS, DATA SPT BISA BOCOR

Ditjen Pajak gunakan pihak luar untuk menginput data SPT

Direktorat Jenderal Pajak merekrut tenaga luar untuk menginput data SPT. Ada kekhawatiran data-data rahasia wajib pajak bakal bocor kepada pihak-pihak yang tak berhak. Kantor Pajak menjamin tak ada kebocoran.

Kalau mau berterus terang, mungkin begini kira-kira pengumuman Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan kepada Anda, terkait dengan penanganan data Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak periode 2006 dan tahun tahun sebelumnya:

Bapak dan Ibu yang terhormat, mohon maaf data-data Anda yang masuk pada Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tahun 2006 dan sebelumnya akan kami beberkan kepada pihak luar. Kami tidak mampu menginputnya ke database karena kekurangan tenaga. Daripada terus menumpuk di kantor, mending kami serahkan pekerjaan itu kepada pihak luar. Mohon permaklumannya.

Deg! Jantung Anda mungkin agak melambat berdegup, atau bahkan berhenti sejenak. Terbayang deretan angka omzet dan penghasilan Anda selama bertahun-tahun, komplet dengan nama rekanan dan nilai transaksi, bakal dibaca pihak lain di luar aparat pajak.

Memang, kenyataan pahit itu ini terpaksa dihadap para wajib pajak setelah beredar Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak No 11/PJ./2007 tertanggal 16 Maret 2007. Sebenarnya, tak ada yang aneh dalam materi surat edaran tersebut. Hanya saja, beberapa poin surat mencantumkan ketentuan bahwa perekaman SPT Masa Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya, serta penginputan data SPT Tahunan Pajak 2005 dan sebelumnya, banyak yang belum selesai dimasukkan pada database. Nah, biar kelambatan itu cepat selesai, Ditjen Pajak menginstruksikan perekaman data dilakukan pihak luar (outsourcing). Perekaman oleh pihak luar harus selesai paling lambat pada 30 Juni 2007, begitu bunyi poin tujuh SE tersebut.

Menumpuk karena sibuk dan kurang tenaga

Sontak surat edaran yang bocor kepada beberapa pengamat mengundang kontroversi. Soalnya, kerahasiaan data wajib pajak dilindungi oleh pasal 34 UU Ketentuan Umum Perpajakan. Menyerahkan kegiatan input data kepada pihak ketiga dikhawatirkan bakal melanggar aturan kerahasiaan tersebut. Apa saja, sih, kerjaan pegawai pajak sehingga keteteran? keluh seorang pengamat pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Djoko Slamet Suryo Putra, mencoba menepis kerisauan itu. Jangan khawatir, kerahasiaan data wajib pajak tetap terjamin, kata Djoko. Lampiran SE itu ternyata menggariskan bahwa pihak luar yang melakukan perekaman kudu memperhatikan pasal 34 UU KUP. Dengan kata lain, mereka wajib merahasiakan data wajib pajak yang mereka input.

Sebelum bekerja, mereka juga harus menandatangani surat pernyataan kerahasiaan itu. Mereka tak boleh memindahkan, menyalin, atau mengkopi data SPT ke dalam media penyimpanan apapun.

Gampangnya, menurut Djoko, pihak yang melakukan input data tadi dibuatkan tempat khusus dan bertugas hanya melakukan input data. Bisa saja nama wajib pajak kita sembunyikan atau kita samarkan dengan kode, mereka tinggal masukkan angka. Setelah disetor ke kita, baru diubah kembali kode itu. Pihak luar tak tahu angka SPT siapa yang mereka masukkan, katanya.

Penjelasan itu ternyata tak jua bisa memuaskan pihak-pihak yang ketakutan data mereka bakal bocor ke luar. Bagaimanapun, adanya tangan lain di luar aparat pajak yang menjamah data wajib pajak ini membuat kerahasiaannya ternoda. Itu melanggar pasal 34 UU KUP. Orang pajak cuma mau gampangnya saja! kata sang sumber sebal.

Djoko berdalih tujuan penerbitan SE tersebut semata-mata agar fungsi pengawasan yang dilakukan Ditjen Pajak bisa lebih baik. Maksudnya, penggunaan tenaga luar mereka anggap mendesak agar kantor pajak bisa segera memperbaiki database. Nanti-nanti, penggunaan tenaga luar tak perlu lagi karena model pelaporan manual yang membutuhkan perekaman ulang bakal hilang. Kita akan ajak semua wajib pajak untuk mengisi SPT dan yang lainnya melalui e-SPT dan e-Filling, katanya kepada KONTAN.

Terkait perekaman SPT yang menunggak, Djoko menduga itu terjadi saking banyaknya data yang menumpuk. Sangat mungkin KPP sedang banyak aktivitas sehingga kurang fokus melakukan perekaman data. Banyak kerja dan tenaga kurang sehingga masih ada perekaman SPT yang belum selesai, katanya.

Wah, siapa saja pihak ketiganya, kalau nakal dapat dua keuntungan: duit dan data rahasia.

Arief Ardiansyah.

PER-70/PJ/2007

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER-70/PJ/2007

TENTANG

JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO
SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH

TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :

  1. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan untuk lebih menyederhanakan pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sehubungan dengan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta jenis jasa lain, perlu menetapkan jenis jasa yang termasuk dalam pengertian jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dan imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000;

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 46; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3636) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 10; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4174);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Tahun 253; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4055);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG JENIS JASA LAIN DAN PERKIRAAN PENGHASILAN NETO SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 23 AYAT (1) HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2000.

Pasal 1

  1. Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta serta imbalan jasa yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya atau oleh orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong Pajak Penghasilan sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto oleh pihak yang wajib membayar.
  2. Imbalan jasa yang atas pembayarannya dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi dan jasa-jasa sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, kecuali jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Pasal 2

Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku tidak dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1).

Pasal 3

Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 4

Besarnya Perkiraan Penghasilan Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 5

  1. Perkiraan Penghasilan Neto adalah sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran I atau lampiran II kolom (3) dikalikan dengan nilai sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta atau nilai imbalan jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  2. Khusus untuk jasa konstruksi dan jasa catering, Perkiraan Penghasilan Neto adalah sebesar persentase sebagaimana tercantum dalam lampiran II kolom (3) dikalikan dengan jumlah nilai imbalan jasa dan nilai pengadaan material/barang, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pasal 6

Pada saat mulai berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka:

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-178/PJ/2006 tentang Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000;
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.313/1995 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 atas Persewaan Alat Angkutan Darat;
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ.3/1998 tentang Perlakuan Perpajakan atas Perusahaan Periklanan;
  4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak serta Surat Penegasan, yang bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;

dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 9 April 2007

DIREKTUR JENDERAL,

TTD

DARMIN NASUTION

NIP 130605098

Pukat Pajak Menjaring Karyawan dan PNS

Kontan, Minggu III, April 2007, 14-April-2007

Pukat Pajak Menjaring Karyawan dan PNS
Bagi-bagi NPWP secara paksa untuk karyawan dan PNS dimulai pekan depan

Senin depan (16/4), Direktorat Jenderal Pajak memulai program pemberian NPWP untuk karyawan dan pegawai negeri sipil. Kantor Pajak akan memanfaatkan data-data milik perusahaan bendahara instansi.Wah, akhirnya tiba juga giliran Anda! Wahai, para karyawan dan pegawai negeri sipil (PNS), kali ini Anda bakal tak bisa kabur dari kewajiban menjadi wajib pajak. Aparat sudah menyiapkan pukat harimau untuk menjaring pegawai negeri dan swasta yang mempunyai pendapatan per bulan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk menjadi wajib pajak. Begitu Anda tersangkut pukat ini, kantor pajak akan langsung menghadiahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) baru.Direktorat Jenderal Pajak Pajak (Ditjen) telah menabuh genderang tanda mulai perburuan wajib pajak ini. Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak, Hasan Rahmani, sudah memerintahkan jajarannya dan semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia untuk menyukseskan program ekstensifikasi wajib pajak paling gres. “Keputusan rapat pekan lalu, kegiatan ini bisa langsung mulai tanggal 16 April di seluruh Indonesia,” kata Hasan.Boleh-boleh saja Anda mencibir pada aksi bagi-bagi NPWP kali ini atau bahkan menganggapnya angin lalu. Maklum, dua tahun lalu Ditjen Pajak juga pernah menyebar NPWP kepada masyarakat melalui ribuan surat cinta. Konon hasilnya, walau tak pernah diumumkan secara resmi, jeblok. Tak banyak wajib pajak baru yang terjaring. Kebanyakan penerima NPWP dadakan cuek bebek tak memberi respon, baik menolak maupun menerima.

Tapi, jangan salah, kali ini Ditjen Pajak tak gegabah dalam menjalankan operasi penjaringan wajib pajak baru. Diam-diam, tanpa banyak gembar-gembor, mereka telah melakukan uji coba penjaringan di Jawa Timur. PT HM Sampoerna dan PT Petrokimia Gresik menjadi ajang uji coba tersebut. Sejak awal Maret lalu, aparat pajak sudah menebarkan jaringnya di dua perusahaan itu.

Hasan mengaku sudah melakukan evaluasi atas pelaksanaan kegiatan tersebut. Hasilnya pun mulai tampak. Kami sudah memberikan 30.000 NPWP baru kepada karyawan Sampoerna dan 4.000 NPWP baru kepada karyawan Petrokimia, kata Hasan sumringah. Setelah pelaksanaan uji coba bagi-bagi NPWP pribadi di dua perusahaan itu berlangsung lancar, mulailah muncul keberanian Ditjen Pajak menyelenggarakan aksi serupa sesuai Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor 16 Tahun 2007, mulai awal pekan depan.

Benar, ternyata, sejak awal tahun Direktur Jenderal Pajak sudah berancang-ancang membidik para pegawai negeri maupun swasta sebagai wajib pajak baru. Persiapan paling awal itu berupa penerbitan Peraturan Dirjen Pajak tentang Pemberian NPWP Orang Pribadi yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham atau Pemilik, dan Pegawai melalui Pemberi Kerja atau Bendaharawan Pemerintah. Intinya, peraturan berjudul panjang itu memungkinkan kantor pajak menyebar NPWP baru kepada pegawai dengan memanfaatkan perusahaan maupun bendahara di kantor pemerintah.

Nah, usai uji coba di Jawa Timur tadi, menurut Hasan, Ditjen Pajak yakin aturan itu bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Tak perlu modifikasi atau tambahan aturan lagi. Standard operational procedure-nya sudah lengkap, katanya.

Itu berarti, mulai pekan depan program ini benar-benar akan melaju pada gigi transmisi maksimal. Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan mulai melakukan sosialisasi program sekaligus mengirimkan surat permintaan data pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai kepada perusahaan atau bendahara kantor pemerintah. Saat itu pula Kepala KPP memberikan formulir daftar nominatif dan e-NPWP, berikut tata cara pengisiannya.

Tidak ada seorang pun pegawai bakal lolos

Daftar nominatif adalah daftar yang harus diisi oleh perusahaan atau bendahara instansi pemerintah; berisi nama dan identitas pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik perusahaan, serta pegawai. Nama-nama yang ada dalam daftar itu harus dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria. Di antaranya, pegawai dengan penghasilan di atas PTKP tapi belum memiliki NPWP, pegawai dengan gaji di atas PTKP dan sudah memiliki NPWP, serta daftar nama pegawai dengan penghasilan di bawah PTKP. Gampangnya, tak ada satu pun karyawan yang datanya bakal lolos dari penjaringan ini, deh. Sekedar catatan, saat ini nilai PTKP adalah maksimal Rp 1,1 juta per bulan.

Selain itu, pada acara sosialiasi tersebut, perwakilan perusahaan dan bendahara kantor pemerintah akan mendapat penjelasan tentang latar belakang pelaksanaan kegiatan, langsung dari pegawai Ditjen Pajak. Bila perwakilan perusahaan atau bendahara kantor pemerintah membolos atau mangkir dari acara sosialisasi itu, KPP akan mengalah dengan mengirimkan petugasnya, datang ke perusahaan atau kantor pemerintah tersebut.

Setelah itu, alur kerja berpindah. Perwakilan perusahaan dan bendahara kantor harus mengisi daftar nominatif tadi sesuai permintaan kantor pajak. Selain itu, mereka juga harus mengumpulkan dan menyerahkan fotokopi KTP atau identitas pengurus perusahaan, komisaris, pemegang saham atau pemilik perusahaan, serta pegawai yang memenuhi syarat untuk menerima NPWP. Terhadap pegawai yang telah memiliki NPWP, pihak perusahaan harus mengumpulkan dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP mereka. Kewajiban lain buat perwakilan perusahaan atau bendahara adalah menyebarkan informasi kepada konco-konconya.

Mungkinkah perusahaan atau bendahara kantor pemerintah ogah bekerjasama? Ya, mungkin saja. Cuma, kalau dalam jangka waktu tertentu KPP belum menerima data yang mereka minta, Kepala KPP akan menugaskan aparatnya mengunjungi perusahaan atau instansi tersebut. Mereka akan langsung melakukan pendataan wajib pajak di sana. Tentu semua petugas pajak yang melakukan kegiatan ini dibekali surat tugas, ungkap Hasan.

Demi menyukseskan agenda ini, Direktorat Ekstensifikasi dan Penilaian Pajak mengaku telah berkoordinasi dengan instansi terkait di tingkat nasional. Salah satunya adalah membuka jalus komunikasi dengan para wajib pajak besar yang mempunyai banyak karyawan. Selain dengan Sampoerna yang sudah berjalan, kami juga akan menemui perusahaan rokok lain, seperti Gudang Garam, Djarum, dan lainnya. Juga beberapa BUMN yang jumlah karyawannya besar, ujar Hasan.

Sepertinya, prosesi perluasan basis pajak kali ini tidak lagi serabutan dan terkesan ambisius, apalagi sekedar proyek mercusuar untuk mencari muka pada bos. Buktinya, Ditjen Pajak mulai menyertakan tahapan sosialisasi dan bahkan uji coba pelaksanaan progam.

Maklum, mereka berani pasang target memperoleh tujuh juta wajib pajak baru lewat program ekstensifikasi paling gres ini. Jumlah itu menjadi bagian dari 30 juta penduduk yang berpotensi sebagai wajib pajak pribadi, katanya.

Beberapa pelaku usaha yang dihubungi KONTAN mengaku menyambut positif atas rencana aksi bagi-bagi NPWP buat karyawan mereka itu. Eddy Soebari, Direktur Keuangan Bumi Resources, misalnya, mengaku tak keberatan bekerjasama dengan aparat pajak kalau tiba saatnya nanti kebagian jatah. Ini kan, demi peningkatan pendapatan pajak. Yang penting aturannya jelas dan dilakukan secara konsisten, katanya kepada KONTAN. Eddy benar-benar menggarisbawahi pernyataannya tentang kejelasan aturan dan pelaksanaan.

Pelaku usaha yang lain, Hafid Hadeli yang menjadi Direktur Keuangan Adira Dinamika Finance, berpendapat senada. Pihaknya akan memberikan data-data yang diminta petugas pajak. Walau begitu, Hafid menilai implikasi program ini sebenarnya tidak begitu terlihat buat karyawan. Selama ini, perusahaan sudah memotong langsung gaji karyawannya untuk membayar pajak. Tentu ada maksud dari pihak pajak untuk mengutip penghasilan karyawan di luar pekerjaan resminya, katanya, menduga.

Tebakan Hafid tentang upaya Ditjen Pajak mendapat fulus tambahan dari pendapatan ekstra karyawan dan pegawai memang sangat mungkin terjadi. Soalnya kalau sekedar mengandalkan duit pajak dari penghasilan resmi karyawan atau PNS, kantor pajak sudah menikmatinya selama ini.

Hasan sendiri mengakui bahwa penguntipan pajak atas penghasilan esktra karyawan atau PNS ini tidak langsung bisa diterapkan seketika setelah pembagian NPWP usai. Ada aturan tersendiri untuk itu. Itu tugas untuk bagian intensifikasi. Kalau kami sekedar memasukkan obyek pajak ke dalam sistem, katanya.

Tak ada anggaran untuk melakukan outsourcing

Tahun ini, Ditjen Pajak memang sangat bersemangat menebar NPWP. Seperti ditulis KONTAN edisi 26 Februari 2007, mereka harus menambah jumlah pemilik NPWP untuk mengejar target setoran ke kas negara yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Padahal, perolehan fulus hasil intensifikasi pajak semakin tak cukup untuk mengimbangi bertambahnya target setoran itu. Tahun lalu, Ditjen Pajak hanya berhasil mengumpulkan pendapatan pajak sebesar Rp. 370 triliun, kurang Rp 11 triliun dari target.

Sebenarnya, terompet tanda mulainya aksi bagi-bagi NPWP untuk tahun ini sudah ditiup sejak akhir Februari silam. Waktu itu, sasaran ekstenfikasi baru sebatas pada calon wajib pajak non karyawan. Para pemilik toko dan kios di pusat-pusat perbelanjaan menjadi sasaran utama. Hasan menggantang harapan apabila program tersebut sukses di Jakartam aksi serupa akan merembet ke daerah lain.

Nyaris dua bulan berselang, harapan itu ternyata bak gayung bersambut. Rencana awal bisa dilanjutkan. Hasan sudah ancang-ancang mengibarkan bendera start untuk melakukan kegiatan ini ke seluruh Indonesia. Meski hasil konkret jumlah NPWP yang dibagi belum terlihat, menurut Hasan, program ini berjalan lancar dan bisa diterima masyarakat. Mulai 19 April program ini dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, ucap Hasan.

Di sisi lain, kegetolan kantor pajak menambah jumlah wajib pajak baru mulai mendapat sorotan pihak-pihak yang kritis dan kompeten terhadap soal ini. Seorang pengamat pajak yang enggan disebut namanya mengatakan kepada KONTAN kalau program pemberian NPWP ini sekedar jalan pintas Ditjen Pajak. Dia menilai aparat pajak frustasi karena selama ini upaya mereka gagal. Model bagi-bagi seperti ini bertentangan dengan UU Pajak yang menganut sistem self assessment, bukan disorong begini, katanya gemas.

Menghadapi serangan ini, Hasan kalem menangkis. Menurutnya, perpajakan tetap menganut self assessment. Baginya, kegiatan bagi-bagi NPWP ini sama sekali tidak bertentangan dengan asas itu. Kami sekedar mendekat ke wajib pajak, katanya.

Ada lagi pihak-pihak lain yang meragukan kemampuan Ditjen Pajak menangani proses hasil pendataan yang bejibun nanti. Muncul kecurigaan kuat bahwa Ditjen Pajak akan menyerahkan pekerjaan itu kepada pihak ketiga, alias melakukan outsourcing. Kalau itu terjadi, berarti Ditjen Pajak melanggar aturan kerahasiaan data wajib pajak.

Hasan juga buru-buru menampik tudingan itu. Meski targetnya jutaan orang, bukan berati Ditjen Pajak berniat melempar tugas ini kepada pihak ketiga. Padahal, menurutnya, proses input data oleh pihal lain belum tentu melanggar UU Pajak, asalkan data yang diinput masih berada pada fase belum rahasia. Data wajib pajak wajib ditutup rapat bila sudah menyangkut omzet dan kewajiban perpajakan. Tak mungkin kami melanggar ketentuan itu, bisa dipenjara. Lagi pula kami tidak punya anggaran untuk outsources, katanya buka kartu.

Bicara target NPWP, angkanya tampak begitu besar. Tapi, jika angka dibagi dengan jumlah KPP yang ada, paling banter setiap KPP kebagian sekitar 30.000 wajib pajak anyar. Malah ada yang cuma 5.000. Jumlah personel pajak masih mencukupi untuk menanganinya, tandas Hasan, mantap.

Selain Perumahan dan Apartemen PKL pun Kebagian Jatah

Berlangsungnya kegiatan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pribadi kepada karyawan dan pegawai negeri sipil bukan berarti penghentian aktifitas sebelumnya. Pemberian NPWP non pribadi kepada para pemilik toko dan kios di pusat-pusat perbelanjaan terus berlangsung. Direktorat Jenderal Pajak terus menyisir mal, plaza, dan pasar untuk memberikan NPWP.

Malah, kegiatan itu akan diperluas lagi. Kalau Anda lega terhindar dari buruan aparat pajak karena tak memiliki kios atau toko di pusat perbelanjaan, maka kini tiba saatnya untuk ketiban giliran. Soalnya, kantor pajak akan memperluas cakupan perburuan mereka. Program ini sedang dan terus berlangsung. Sekarang baru mal, besok-besok berlanjut ke perumahan dan apartemen, kata Hasan Rahmani, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak.

Menurut Hasan, kegiatan ini juga bakal go Indonesia. Uji coba di Jakarta mereka nilai berjalan lancar dan sukses, sehingga bisa diperluas pelaksanaannya ke seluruh Indonesia. Kamis pekan depan, program ini resmi mulai berlangsung secara nasional, katanya.

Mengenai hasil program bagi-bagi NPWP properti di mal, memang hingga saat in secara kuantitas belum terlihat. Menurut Hasan, data NPWP yang sudah selesai diinput masih sangat sedikit. Baru satu dua mal yang sudah selesai. Paling baru seribuan NPWP yang sudah jadi, katanya.

Meski begitu, menurut Hasan, respons masyarakat atas program pembagian NPWP berbasis properti sangat bagus. Dia mencontohkan pelaksanaan kegiatan ini di ITC Cempaka Mas. Pekan ini pihaknya menggarap pada pedagang di lantai empat pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat ini. Hasan mendapati dukungan yang utuh dari pengelola. Begitu pula sambutan para pedagang atas kegiatan tersebut. Program ini malah
menguntungkan kami, katanya menirukan omongan para pedagang.

Semangat para pedagang untuk bekerjasama dengan aparat perpajakan ini tentu saja membuat Hasan gembira. Apalagi, ada sepucuk undangan tergeletak di atas mejanya dari sebuah asosiasi pengusaha. Isinya berupa kesiapan mereka menerima petugas pajak untuk memberi NPWP kepada mereka. Kita yang malah diundang ke sana untuk membagi NPWP. Ini awal baik, katanya.

Tak ayal, Hasan mengaku sedang membidik target lain sebagai sasaran pembagian NPWP berbasis properti. Bakal sasaran itu adalah para pedagang kakilima yang pendapatannya di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Dia yakin, meskipun para pedagang di sektor informal itu berdagang di pinggir jalan, diam-diam mereka menyimpan potensi pajak yang sangat patut untuk digarap. Untuk itu, petugas Ditjen Pajak juga akan memberikan NPWP kepada mereka, katanya.

Arief Ardiansyah, Suhendra

PER Dirjen Pajak No. 178/2006 dicabut

Bisnis Indonesia, 11-April-2007PER Dirjen Pajak No. 178/2006 dicabut
PPh jasa direvisi

JAKARTA: Dirjen Pajak Darmin Nasution akhirnya mengubah paradigma negatif penetapan jenis jasa yang dipungut pajak penghasilan (PPh)-nya melalui pihak ketiga (withholding tax) berikut perkiraan penghasilan netonya seperti diatur Peraturan Dirjen Pajak No.178/PJ/2006.

Melalui Peraturan Dirjen Pajak No.70/PJ/2007 yang diperoleh Bisnis kemarin, Dirjen Pajak mengubah paradigma negatif itu jadi positif, atau kembali seperti paradigma yang dipakai di peraturan sebelumnya, yaitu Keputusan Dirjen Pajak No KEP-170/PJ/ 2002.

Jadi, bila berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No.178 semua jenis jasa dikenakan pungutan PPh kecuali jenis jasa yang dikecualikan, di Peraturan DJP No.70 hanya jenis jasa yang tercantum dalam daftar yang dikenakan pungutan PPh.

Dirjen Pajak Darmin Nasution menyatakan Peraturan Dirjen Pajak No.70 yang berlaku mulai 9 April 2007 sekaligus juga menurunkan beberapa perkiraan neto sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat 1 huruf C UU PPh. “Tak ada yang dinaikkan,” katanya di Jakarta, kemarin.

Namun, Darmin tak merinci persisnya penurunan besaran perkiraan neto jenis-jenis jasa itu. Dia meminta pers menghubungi Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Djoko Slamet Surjo Putro.

Djoko yang ditemui dan ditunggui Bisnis di kantornya sampai kemarin petang justru mengaku belum memiliki Peraturan Dirjen Pajak No.70 itu. Dia juga enggan memberikan salinan peraturan itu sebagai ganti penjelasannya.

Penghasilan neto

Pengecekan Bisnis menunjukkan penurunan yang dimaksud Darmin ternyata perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta, dari sebelumnya 20% & 40% menjadi 10% & 30%. (lihat tabel)

Pasal 23 UU PPh mengatur pungutan PPh atas penghasilan jasa. Pasal 23 ayat 1 huruf C menyebut penghasilan dari sewa dan penghasilan lain sehubungan penggunaan harta, serta imbalan atas jasa teknik, manajemen, konstruksi, konsultan, dan jasa lain-selain jasa yang dipotong PPh Pasal 21, dikenakan PPh 15% dari perkiraan penghasilan neto yang besarannya ditetapkan Dirjen Pajak.

Jenis jasa lain yang masuk dalam daftar Peraturan Dirjen Pajak No. 70 berarti pembayaran pajaknya dilakukan melalui pemotongan oleh pihak ketiga atau pada saat transaksi dilakukan.

Jenis jasa lain yang perkiraan penghasilan netonya ditetapkan sebesar 30% bruto di luar PPN itu a.l. jasa penilai; aktuaris; akuntansi; perancang, penebangan hutan, pengolahan limbah, penyedia tenaga kerja, perantara, pengisian suara, dan mixing film. Sementara jasa kurir, freight forwarder, jasa perjalanan wisata, dan jasa-jasa lain yang tidak ada dalam daftar peraturan tersebut otomatis tidak dipungut PPh-nya melalui pihak ketiga alias dibebaskan.

Juru Bicara Tim 11 asosiasi usaha penolak Peraturan Dirjen Pajak No. 178 yang juga Wakil Ketua Umum Gabungan Forwarder & Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Iskandar Zulkarnain menyambut gembira revisi tersebut.

Kegembiraan senada diungkapkan Direktur Eksekutif Asperindo Syarifuddin dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi. “Revisi ini sesuai dengan apa yang kita bicarakan. Kami ingin undang Dirjen Pajak tumpengan bersama,” kata Iskandar. (Silviana Pravita R.K.N.) ([email protected])

Oleh Bastanul Siregar

Berburu Wajib Pajak Di Kantor-Kantor

Harian Kontan, 13-April-2007Berburu Wajib Pajak Di Kantor-Kantor
Aparat pajak membagi NPWP kepada semua pegawai yang memenuhi syarat

JAKARTA. Tak ada pengecualian bagi pegawai negeri sipil (PNS), karyawan swasta, atau pun pengusaha untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Mulai 16 April nanti, serentak di seluruh Indonesia, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan mengirimkan surat kepada setiap perusahaan dan kantor pemerintah.Isinya meminta mereka untuk mendata seluruh pegawai dan mengelompokkannya berdasarkan besarnya gaji: sudah di atas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) atau belum. Berdasarkan data itu, kantor pajak setempat akan menerbitkan NPWP untuk setiap karyawan atau pegawai, termasuk bagi mereka yang sudah memiliki NPWP sekalipun. “Kami perlu melakukan standarisasi supaya bisa matching semuanya,” ujar Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak, Hasan Rahmani kepada KONTAN, Kamis (12/4).

Kriteria bagi pegawai yang akan mendapat todongan data pribadi untuk membuat NPWP adalah PNS minimal golongan IIA dan pegawai swasta yang memiliki penghasilan di PTKP yaitu Rp 1,1 juta.

Walaupun resminya baru akan berlangsung mulai pekan depan, sebenarnya sudah sejak awal Maret lalu kantor pajak melakukan uji coba penjaringan wajib pajak gaya baru ini di PT HM Sampoerna dan PT Petrokimia Gresik. Hasilnya puluhan ribu NPWP baru berhasil mereka serahkan kepada karyawan di dua perusahaan swasta tersebut.

Tak perlu menghindar

Hasan menghimbau agar masyarakat tidak menghindar dari upaya perluasan wajib pajak ini. Menurutnya aksi Ditjen Pajak ini justru untuk memberi kemudahan bagi para masyarakat agar tidak perlu repot-repot bersusah payah mengurus NPWP sendiri. “Tinggal ongkang-ongkang kaki, sudah mendapat NPWP. Tidak seperti wajib pajak dulu yang harus bolak-balik ke kantor pajak untuk mengurusnya,” ungkapnya.

Dia juga berusaha meyakinkan bahwa masyarakat akan rugi besar jika mengelak memberikan data sebagai dasar pembuatan NPWP. Soalnya dalam RUU Pajak Penghasilan yang saat ini masih dalam proses pembahasan, ada ketentuan seseorang tidak memiliki NPWP akan terkena potongan PPh dua kali lipat. “Makanya kami bergerak cepat sebelum RUU itu disahkan,” ujarnya.

Nuria Bonita, Arief Ardiansyah