Seringkali para Accounting/Finance Managers atau Financial Controllers menggaruk-garuk kepala bilamana sudah mendekati masa pelaporan PPh Badan / Corporate Income Tax. Yang muncul di benak adalah pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah kita dapat melakukan perhitungan koreksi fiskal tepat waktu?” dan “Apakah audit bisa selesai on-time agar pelaporan Pajak Penghasilan Badan dapat dilakukan dengan benar?”. Namun yang paling membuat hati tidak tenang adalah “Apakah kita lebih bayar?”. Jika mendengar istilah “lebih bayar”, banyak pihak yang shocked dan mulai mengeluarkan kreativitas mereka sehingga posisi pajak berubah dari “lebih bayar” menjadi “kurang bayar”.
Apa sebenarnya penyebab dari “lebih bayar” atau “kurang bayar”? Mari kita lihat dulu kronologinya, dimulai dari pembuatan laporan keungan hingga dilakukannya pelaporan pajak.
- Pembuatan Laporan Keuangan: Untuk kaum awam, laporan keuangan dapat didefinisikan sebagai pencatatan dari segala transaksi perusahan yang dilakukan selama satu tahun fiskal. Pencatatan dan pembuatan laporan keuangan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Semua yang dicatat haruslah sesuai dengan “aturan mainnya”, yakni Standar Akuntansi yang berlaku di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah apakah memang semua perusahaan melakukan pencatatannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku? Kenyataannya ada yang jujur dan ada yang tidak. Dalam dunia perpajakan, angka-angka di laporan keuangan ini dikenal dengan istilah angka per “komersiil”.
- Audit terhadap laporan keuangan: Untuk memudahkan pemahaman, auditor adalah “para ahli” dari kantor akuntan publik yang disewa oleh perusahaan guna melakukan pengecekan apakah angka –angka yang tertera di laporan keuangan (sebagaimana disebutkan di point a) adalah benar dan tidak mengandung kesalahan yang bersifat material/signifikan. Yang menjadi benchmark/basis pengecekan para auditor adalah Standar Akuntansi yang disebutkan di atas. Bilamana ditemukan ketidaksesuaian, auditor akan meminta agar perusahaan melakukan pembetulan dalam laporan keuangan. Secara singkat kata, auditor akan membuat laporan keuangan tampil apa adanya, sebagaimana mestinya, tanpa polesan. Banyak auditor tidak disukai oleh perusahaan. Banyak yang bilang “merepotkan”, “banyak mau”, “banyak tanya” dan sebagainya. Auditor memang terkadang menyebalkan. Tapi ketahuilah bahwa mereka bekerja keras sampai larut malam untuk menyelesaikan laporan audit. Semakin lengkap dan komprehensif data dan keterangan yang diberikan kepada mereka, semakin cepat mereka bisa menyelesaikan tugasnya. Kerja sama antara klien dan auditor sangat mempengaruhi proses audit.
- Perhitungan koreksi fiskal: Asumsikan audit berlangsung dengan baik, maka datang saatnya untuk melakukan perhitungan koreksi fiskal. Mengapa koreksi fiskal itu diperlukan? Secara singkat, penyebabnya adalah adanya perbedaan antara pencatatan sesuai Standar Akuntansi (sebagaimana disebutkan di point a dan b) dan pencatatan sesuai Peraturan Perpajakan. Contoh: Dalam perpajakan, beban penyisihan piutang tak tertagih tidak boleh diakui sebagai beban (jika tidak memenuhi berbagai macam syarat perpajakan). Namun dari kacamata akuntansi sudah layaknya perusahaan melakukan penilaian secara berkala terhadap piutang – piutangnya. Jika ada piutang yang kiranya tidak bisa tertagih (misalkan klien sedang menghadapi masalah cashflow besar-besaran) maka perusahaan melakukan beban penyisihan untuk piutang tersebut. Masih banyak contoh koreksi-koreksi fiskal yang terjadi. Banyak perusahaan yang menyewa konsultan pajak yang dapat melakukan perhitungan koreksi-koreksi fiskal ini.
- Pembayaran dan pelaporan kepada Kantor Pajak: Perhitungan koreksi pajak dalam point c akan diperhitungkan dalam penyusunan laporan Laba Rugi perusahaan. Koreksi-koreksi tersebut bisa membuat posisi laba akhir laporan keuangan bertambah maupun berkurang. Apapun hasilnya, itulah hutang pajak yang harus dibayarkan kepada negara. Namun perlu diingat bahwa sepanjang tahun fiskal, perusahaan telah melakukan pembayaran cicilan untuk hutang ini. Perusahaan pun bisa memiliki kredit PPh 23 yang bisa mengurangi jumlah hutang pajak, bilamana bergerak dalam industri jasa. Pembayaran sisa hutang dan pelaporannya harus dilakukan selambat-lambatnya 4 bulan setelah periode tutup buku fiskal. Jadi, misalkan perusahaan tutup buku 30 Juni 20XX, maka pembayaran dan pelaporan harus dilakukan selambat-lambatnya 31 October 20XX. Jika tidak bisa, maka akan dikenakan denda. Namun perusahaan bisa meminta permohonan perpanjangan dengan membuat surat-surat dan melampirkan dokumen yang diwajibkan. Perlu diingat bahwa saat melakukan pelaporan pada kantor pajak, perusahaan harus mencatumkan di Formulir 1771 apakah ia telah diaudit atau tidak, dan siapakah auditornya. Di tahap inilah, akan terlihat apakah perusahaan mempunyai saldo kekurangan atau kelebihan pembayaran (sisa) hutang pajak.
- Pembetulan SPT Badan: Sebagaimana disebutkan di point d, perusahaan perlu mencantumkan apakah laporan keuangan yang dilaporkan telah diaudit atau tidak. Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua perusahaan memprioritaskan audit. Banyak perusahaan yang proses auditnya tertinggal selama beberapa tahun. Contoh: Laporan Audit untuk tutup buku 30 Juni 2014 baru selesai pada May 2015. Sementara pajak penghasilan badan telah dibayar dan dilaporkan pada bulan Oktober 2014. Apakah yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan? Yang diharapkan adalah perusahaan memperbaiki SPT Badan 30 Juni 2014 mereka sesuai dengan hasil audit. Namun kenyataannya, itu banyak tidak dilakukan karena bersifat merugikan. Jika hasil audit menyatakan kurang bayar, maka perusahaan harus membayar sisa kekurangan ditambah dengan denda. Jika hasil audit menyatakan lebih bayar, maka perusahaan akan mendapatkan possible exposure pada tax audit. Ada pemeriksaan audit lagi, namun kali ini auditornya datang dari kantor pajak langsung. Tentunya itu sangat dihindari.
Pajak merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Itu adalah kewajiban kita sebagai perusahaan atau individu yang berpenghasilan. Kondisi idealnya adalah department accounting/finance melakukan tugasnya dengan baik dan sesuai timeframe. Dengan demikian para kepala departemen/bagian dapat melakukan analisis dan tindakan yang tepat guna memenuhi kewajiban pajak dan segala prosedur yang mempengaruhi kewajiban-kewajiban tersebut. Misalkan, perusahaan dapat melakukan proyeksi posisi pajak dengan mempertimbangkan bisnis dan kondisi keuangan perusahaan sampai dengan akhir tahun. Apakah menurut proyeksi akan memungkinkan terjadinya “lebih bayar”? Jika ya, mungkin perusahaan dapat mengajukan pengurangan jumlah cicilan PPh 25 kepada kantor pajak. Jika merasa itu tidak berhasil, perusahaan dapat menyewa konsultan pajak untuk memberi advice lain. Jika terlihat bahwa posisi hutang pajak terlalu besar, perusahaan dapat lebih gencar lagi menagih bukti potong PPh 23 dari para kliennya (jika bergerak dalam pemberian jasa) guna memiliki kredit pajak yang besar. Apapun langkah yang dilakukan, semua dimulai dengan ketersediaan data keuangan yang lengkap dan tepat.