Kontan, Minggu IV, April 2007, 23-April-2007
PASTI DAN SEDERHANA, TAPI BIKIN MULES PERUT
Perusahaan jasa keberatan dengan aturan baru Ditjen Pajak soal pemungutan PPh
Reaksi mulai bermunculan terkait keluarnya Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak yang mengulas PPh Pasal 23. Banyak perusahaan yang terbebani meminta peninjauan ulang atas aturan itu.Beberapa hari terakhir ini, kalau mau mengukur, boleh jadi tensi Henny Lestari berada di atas rentang normal. Walau masih sering terlihat tertawa renyah, dia sedang memendam persoalan. Sebagai direktur utama sebuah perusahaan jasa, dia tengah bingung cara menerapkan aturan pajak teranyar tentang pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 kepada kliennya.
Banyak jenis jasa yang tercantum dalam aturan ini yang menyenggol bidang kerjanya sebagai konsultan public relations (PR) dan marketing communication. Mau enggak, ya, klien menyesuaikan pembiayaan sesuai peraturan ini? katanya, masygul. Pertanyaan itu akhirnya dia jawab sendiri. Pasti mereka enggan. Tanpa aturan ini saja kami sudah setengah mati cari klien. Sekarang tambah berat banget, keluhnya kepada KONTAN.
Keluhan Henny ini bukan lantaran dia tak paham kebutuhan negara atas penerimaan pajak. Dia mengaku mengerti, dan selama ini mencoba tertib dalam hal perpajakan alias menjadi pengusaha yang sehat. Cuma, dia melihat peraturan model begini bakal memancing orang untuk bertindak tidak jujur. Bisa saja, perusahaan tidak membuat nota invoice dan sekedar membuat kuitansi. Karena kalau gue tertib, gue mati, katanya.
Dia menyayangkan polah regulator yang sekedar membuat peraturan tanpa turun ke lapangan. Mereka seharusnya memahami bidang kerja jasa-jasa seperti ini. Kalau tahu-tahu muncul peraturan begini, Henny mengaku kerepotan dan protes berat. Bikin gue sakit perut, katanya.
Ini, lo, aturan yang bikin sakit perut
Hulu protes Henny ini berasal dari Peraturan Ditjen Nomor 70/PJ/2007. Intinya, peraturan yang diteken 9 April silam ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan penyederhanaan pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 sehubungan dengan sewa dan penghasilan lain. Kata kepastian hukum dan penyederhanaan memang menyejukkan. Tapi, tahukah Anda apa makna keduanya dalam konteks ini?
Begini. Lazimnya, perusahaan membayar PPh setelah mengetahui laba bersih yang mereka peroleh. Nah, lewat peraturan baru ini, kantor pajak hendak memastikan pemotongan PPh lansung dari nilai omzet, dan dibayarkan di depan. Lo, kok, bisa begitu? Di sinilah letak kesederhanaannya. Ketimbang repot-repot mengurangi omzet dengan aneka biaya untuk mendapatkan laba bersih, Ditjen Pajak sudah mematok perkiraan angka laba sejak awal dan menghitung pajaknya.
Mereka menetapkan besarnya PPh sebesar 15% dari perkiraan penghasilan bersih perusahaan-perusahaan jasa yang terikat ketentuan ini. Nah, Ditjen Pajak telah menentukan perkiraan laba bersih dari masing-masing bidang usaha. Misalnya, mereka menaksir laba bersih jasa penyediaan ruang atau waktu untuk iklan di media massa adalah 10% dari nilai omzet, tak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Itu berarti nilai PPh Pasal 23 yang dibayarkan adalah sebesar 15% dari 10%, yaitu 1,5% dari nominal transaksi, kata Pandoyo, staf Ditjen Pajak II, yang ditemui KONTAN di kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta.
Bukan hanya perusahaan PR dan media massa yang terkena dampak. Perusahaan agensi iklan pun terkena imbasnya. Menurut Direktur Keuangan PT Citra Media Komunikasi Nur Khotim, selama ini perusahaan agensi iklan telah membayar PPN, PPh 21, PPh 26, PPh 25, dan PPh 29. Kini, mereka harus menambah setoran pajak dalam bentuk PPh 23. Kalau dikumpulkan bisa jadi ada 480 pungutan pajak. Ini tidak praktis karena menimbulkan banyak celah yang mengakibatkan banyaknya penyelewengan, katanya.
Apalagi, munculnya peraturan PPh 23 ini membuat biro iklan ketiban sampur sebagai pengumpul pajak. Tugas kita menghitung, memotong, melapor, dan menyetor pajak. Dengan aturan baru ini kerja kami semakin ribet, terutama menyangkut sistem akuntansinya, katanya.
Ancaman ruwetnya urusan administrasi juga dirasakan Ferti Wiratih, Direktur Keuangan PT Hakuhodo Indonesia, perusahaan agensi iklan yang lain. Ferti mengaku direpotkan dengan klausul penyertaan bukti pemotongan pajak untuk media. Jumlahnya banyak sekali karena tiap transaksi harus disertai bukti pemotongan. Frekuensi pekerjaan kita bakal bertambah, katanya.
Ferti mengaku tak punya pilihan lain kecuali memotong nilai transaksi iklan sebesar 1,5% ke media. Namun, dia sudah menduga bakal muncul efek bumerang. Bisa jadi media akan melakukan penyesuaian. Mungkin pengaruhnya terasa pada volume iklan. Dengan jumlah uang sama, tadinya iklan kami bisa naik cetak lima kali. Ke depan hanya empat kali, katanya. Ujung-ujungnya, klien akan memotong fee agensi untuk perusahaan biro iklan.
Kalangan media pun setali tiga uang. Menurut Asmono Wikan, Direktur Eksekutif Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pengenaan PPh sebesar 1,5% terhadap iklan memang turun dari tarif sebelumnya sebesar 3%, yang tertuang dalam peraturan Ditjen Pajak Nomer 178/PJ/2006. Memang diringankan, tapi kita inginnya dihapus dari peraturan tersebut, katanya.
Menurutnya, selama ini pungutan pajak sudah menempel pada saat pembelian kertas, proses cetak, dan penjualan. Kok, sekarang ditambahi PPh untuk iklan? katanya. Asmono juga tak habis pikir asal penentuan perkiraan penghasilan neto untuk jasa iklan media massa. Angka itu tidak jelas karena tidak ketahuan asal asumsinya. Kita ini bicara untung, bukan pendapatan. Penentuan itu tak berdasar, katanya.
Karena itu SPS sudah mengirim surat ke Ditjen Pajak agar menghapus PPh jasa lain ini. Surat ini langsung ditembuskan kepada Menteri Keuangan. Kami menghimbau anggota SPS agar jangan membayar biaya pajak sebelum SPS mendapat jawaban dari Ditjen Pajak, katanya.
Menaggapi berbagai respon ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Djoko Slamet Suryo Putro, berjanji Ditjen Pajak akan segera memberi penjelasan yang lebih detail.
Agaknya, tensi para pebisnis jasa belum boleh normal.
Andai Saja Cuma April Mop
Andai saja Peraturan Ditjen Pajak Nomer 70/PJ/2007 sekedar guyonan bulan April (April mop), tentu bisa dinobatkan sebagai lelucon paling mengejutkan seluruh dunia.
Sayang sekali, aturan baru itu benar-benar serius. Begitu banyak bidang bisnis yang terimbas aturan ini. Mari kita sebut mereka satu per satu.
Pemungutan PPh Pasal 23 menimpa bisnis jasa manajemen, jasa pengisian suara, jasa mixing film, jasa penyediaan tenaga kerja, serta jasa penyediaan tempat maupun waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk penyampaian informasi.
Itu baru sebagian. Masih ada 28 jenis jasa lain yang terkena PPh Pasal 23 ini. Jasa-jasa tersebut meliput sewa dan penghasilan angkutan darat, jasa teknik, jasa manajemen, jasa penunjang pertambangan minyak dan gas, dan jasa penambangan migas. Selain itu, pajak juga mengiris penghasilan dari jasa penunjang bidang penerbangan dan Bandar udara, jasa maklon, jasa penilai, jasa akuntansi, jasa perancang, dan jasa perantara.
Ditjen Pajak juga telah menetapkan besaran perkiraan penghasilan bersih dari tiap jasa tersebut. Seperti dikutip dari lampiran peraturan peraturan ini angka perkiraannya berkisar 10%-30%. Itulah yang akan digunakan sebagai patokan pungutan. Angka patokan ini yang mengundang tanya pebisnis.
Arief Ardiansyah, Suhendra, Agustina Triyudhi